Pages

Selasa, 17 Januari 2012

Pembelajaran Matematika Di Sekolah


Pembelajaran Matematika Di Sekolah

 

Paradigma Pembelajaran Konstruktivisme
Dikenal dua paradigma pembelajaran, yakni paradigma instruktivisme, dan paradigma konstruktivisme. Paradigma konstruktivisme memandang bahwa matematika sebagai aktivitas manusia ( human activity) yang fallible (bisa salah), bukan kumpulan struktur yang benar absulut yang eksternal terhadap manusia. Kebenaran matematika maupun kebenaran obyek matematika harus diwujudkan sebagai hasil konstruksi atau cara mengkonstruk. Ini berarti bahwa konstruksi matematika dibutuhkan untuk menghadirkan kebenaran atau keberadaan sebagai penolakan terhadap cara pembuktian berdasarkan kontradiksi.

Konstruktivisme memegang teguh pendapat bahwa setiap dunia pengalaman bergantung pada konteks dan bersifat unik dan tidak bisa diakses oleh individu lainnya. Jadi dunia pengalaman bukanlah konklusi berdasarkan data-data empirik, tetapi suatu keahusan epistimologi yang apriori ( Akbar Suta -wijaya, 2002 : 357). Piaget, salah satu tokoh konstruktivisme mengemukakan bahwa perkembangan kognitif bukanlah merupakan akumulasi dari kepingan informasi yang terpisah, namun lebih merupakan pengkonstruksi- an suatu kerangka mental oleh siswa untuk memahami lingkungan mereka, sehingga siswa bebas membangun pemahamannya sendiri ( Asikin, 2003 : 6).

Prinsip-prinsip dalam pembelajaran yang berpaham konstruktivisme diantaranya sebagai berikut.
  1. Pengertian dibangun oleh siswa sendiri baik secara personal maupun sosial,
  2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa itu sendiri untuk bernalar,
  3. Siswa aktif mengkonstruksi terus menerus sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah,
  4. Guru sekadar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus sesuai dengan kemampuan siswa.
Ciri-ciri pembelajaran matematika secara konstruktivisme, sebagai berikut.
  1. Siswa terlibat secara aktif dalam belajarnya,
  2. Siswa belajar materi matematika, secara bermakna,
  3. Siswa belajar bagaimana belajar itu,
  4. Informasi baru harus dikaitkan dengan informasi sebelumnya sehingga menyatu dengan skemata yang telah dimiliki siswa,
  5. Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan,
  6. Berorientasi pada pemecahan masalah.
Belajar matematika, tidak sekadar learning to know, melainkan harus ditingkatkan menjadi learning to do, learning to be, hingga learning to live together. Filosofi pengajaran matematika perlu diperbaruhi secara mendasar menjadi pembelajaran matematika. Terjadi pergeseran paradigma dalam proses pembelajaran matematika, yaitu:

  1. Dari teacher centered menjadi learner centered,
  2. Dari teaching centered menjadi learning centered,
  3. Dari content based menjadi competency based,
  4. Dari product of learning menjadi process of learning,
  5. Dari summative evaluation menjadi formative evaluation.

Teori Belajar Untuk Pembelajaran Matematika

Teori Belajar Piaget.
Manusia tumbuh beradaptasi dan berubah melalui perkembangan fisik, kepribadian, emosional, kognitif, berpikir dan bahasa. Pengetahuan datang dari tindakan, perkembangan kognitif sebagian besar tergantung pada seberapa jauh anak berinteraksi dengan lingkungan (Sofianto A N, 2003 : 6). Perkembangan kognitif manusia melalui 4 (empat) tahap secara berurutan, yakni 1) tahap sensori motorik, 2) tahap pra-operasional, 3) tahap operasi kongkrit, dan 4) tahap operasi formal.
Menurut Piaget, struktur kognitif yang dimiliki seseorang itu karena proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses mendapatkan informasi dan pengalaman baru yang langsung menyatu dengan struktur mental yang sudah dimiliki seseorang. Sedangkan akomodasi adalah proses menstruktur kembali mental sebagai akibat adanya informasi dan pengalaman baru tadi. Informasi dan pengalaman yang disebut pengetahan, menurut Piaget bukanlah suatu klise realitas, melainkan rekonstruksi dari realitas. Adaptasi oleh Piaget, tediri dua proses, yaitu asimilasi dan akomodasi.

Perkembangan intelektual dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni:
a. Kematangan merupakan proses pertumbuhan psikologis dari otak dan sistem syarat.
b. Transmisi sosial
c. Penyetimbang (equillibrition) merupakan proses adanya kehilangan stabilitas di dalam struktur mental sebagai akibat pengalaman dan informasi baru dan kembali setimbang melalui proses asimilasi dan akomodasi

Teori Belajar Gagne.
Belajar merupakan proses yang memungkinkan manusia memodifikasi tingkah lakunya secara permanen, sedemiian hingga modifikasi yang sama tidak akan terjadi lagi pada situasi baru. Kematngan bukanlah belajar, sebab perubahan tingkah laku yang terjadi, dihasilkan dari pertumbuhan struktur dalam diri manusia itu. Belajar terjadi bila individu merespon terhadap stimulus yang datangnya dari luar, sedangkan kematangan datangnya memang dari dalam diri orang itu. Perubahan tingkah laku yang tetap sebagai hasil belajar harus terjadi bila orang itu berinteraksi dengan lingkungan.

Dalam keterampilan intelektual, Gagne mengurut delapan tipe belajar sebagai berikut:
1. Belajar sinyal / isyarat
2. Belajar stimulus respon
3. Belajar rangkaian
4. Belajar asosiasi
5. Belajar diskriminasi
6. Belajar konsep
7. Belajar aturan
8. Belajar pemecahan masalah

Teori Belajar Ausubel
Belajar dikatakan bermakna (meaningfull) bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimilikinya sehingga dapat mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Entitas fakta dan generalisasi lebih siap dipelajari dan diserap oleh siswa bila fakta-fakta dan generalisasi itu dikaitkan ke kerangka yang lebih inklusif dari pengetahuan yang bermakna. Hierarkhi Ausubel dari yang lebih inklusif ke yang sederhana.
Kegiatan belajar dengan peneluan maupun dengan ceramah, dapat menghasilkan belajar bermakna bagi siswa. Untuk mengajarkan konsep persamaan kuadrat, harus disiapkan dahulu pengertian persamaan sebagai konsep yang lebih inklusif dalam struktur kognitif siswa, agar belajar menjadi bermakna. Tugas-tugas yang diberikan kepada siswa harus sesuai dengan struktur kognitif dan harus sesuai dengan tahap perkembangan intelektual siswa tersebut. Perlu dibedakan antara struktur kognitif siswa dan tahap perkembangan intelektual siswa.

Teori Belajar Polya
Polya sangat mendukung terhadap pembelajaran menggunakan pemecahan masalah. Menurut Polya, dibedakan antara 1) masalah ”menemukan”, dan 2) masalah ”membuktikan”
a. Pengetian masalah.
Suatu situasi adalah masalah bagi seseorang, jika ia sadar akan situasi itu, tahu bahwa hal itu membutuhkan suatu tindakan, ia mau dan perlu bertindak dan melakukan tindakan dan situasi tu tidak segera dapat dislesaikan dengan aturan/ cara tertentu. Jadi tidak setiap situasi atau soal/ persoalan merupakan masalah. Masalah adalah persoalan yang khusus. Suatu persoalan dikatakan masalah, jika memenuhi kriteria sebagai berikut.
  1. Tidak dimilikinya aturan/cara yang segera dapat digunakan untuk menyelesaikannya, artinya tidak dapat dikerjakan dengan prosedur rutin
  2. Tingkat kesulitannya sesuai dengan struktur kognitif
  3. Ada kesadaran untuk bertindak menyelesaikan
b. Langkah-langkah pemecahan masalah.
Langkah-langkah pemecahan masalah menurut Polya, sebagai berikut.
1. Memahami masalah.
2. Merencanakan penyelesaian,
3. Menyelesaikan masalah,
4. Melakukan pengecekan

Ada 5(lima) langkah umum dalam model pemecahan masalah, yaitu:
1. Menyajikan masalah dalam bentuk umum,
2. Menetapkan masalah dalam bentuk yang lebih operasional,
3. Merumuskan kemungkinan hipotesis dan prosedurnya,
4. Menguji hipotesis dan prosedur menuju suatu penyelesaian masalah.
5. Menganalisis dan menguji penyelesaian pemecahan masalah.

Teori Belajar Brunner
Brunner mengemukakan teori konektivitas, yang menyatakan bahwa kegiatan belajar suatu konsep, struktur, dan keterampilan dapat dihubungkan dengan konsep dan struktur lain. Belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur yang terdapat dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur (Herman Hudoyo, 1998 : 58). Peserta didik harus menemukan keteraturan dengan cara memanipulaso material yang berhubungan dengan keteraturan intuitif yang sudah dimiliki peserta didik.
Menurut Brunner, perkembangan mental siswa mengalami 3 (tiga) tahap, yakni:
  1. Tahap enactive, yakni tahap memanipulasi obyek langsung.
  2. Tahap ikonic, tidak memanipulasi langsung obyek, melainkan dapat memanipulasi dengan menggunakan gambaran dari obyek
  3. Tahap simbulik, tahap memanipulasi simbul-simbul, tak perlu mengkaitkan secara langsung dengan obyek.
Brunner, mengemukakan 4 (empat) teori/teorema belajar, yakni:
1. Teorema Konstruksi,
2. Teorema notasi
3. Teorema perbedaan dan variasi,
4. Teorema konektivitas.

Teori Belajar Vigotsky
Pembelajaran terjadi apabila siswa belajar atau bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, namun tugas itu masih berada dalam zone of proximal development, yaitu kawasan tingkat perkembangan struktur kognitif seseorang saat ini.

Model Pembelajaran Matematika

Pengertian Model Pembelajaran
Pembelajaran adalah proses yang membuat orang (siswa) belajar. Pembelajaran merupakan padanan dari instruksional. Pembelajaran lebih luas dari pengajaran. Pengajaran adalah pembelajaran yang dapat terjadi dalam kelas-kelas formal, sedangkan pembelajaran dapat terjadi di luar suasana kelas-kelas formal. Berdasarkan pendekatan sistem, pengajaran merupakan sistem tindakan yang ditujukan untuk membawa perubahan belajar (Smith dalam Cholik, 1993 : 4). Pembelajaran matematika merupakan sistem penyampaian obyek-obyek matematika yang harus disesuaikan dengan tingkat kesiapan, tingkat kematangan, tingkat perkembangan intelektual peserta didik.

Beberapa ahli, membedakan antara pengajaran dan pembelajaran berdasarkan filosofinya. Pada pengajaran, guru lebih banyak menyampaikan sejumlah idea atau gagasan, sedangkan dalam pembelajaran, siswa berperan lebih aktif sebagai pembelajar, siswa mendapar porsi kegiatan lebih banyak dibandingkan guru dalam proses pembelajaran.
Dalam proses pembelajaran, harus terjadi interaksi yang memadai antara siswa dan guru, siswa dan siswa yang lain. The core of the process of teaching is the arrangement of environtments within which the student can be interact (Dewey dalam Bruce Joyce, 1992 :4). Selanjutnya Bruce Joyce (1992 : 4) mengemukakan bahwa :”A model of teaching is a plan or pattern that we can use to design face-to-face teaching in class-rooms or tutorial setting and shape instructional materials-including books, films, tape, computer-mediated programs and curricula. Each model guides us we design instruction to help student achive various objectives. Model mengajar, yang sebenarnya juga dapat dikatakan sebagai model belajar, dapat dikemas dalam suatu model pembelajaran.

Klasifikasi Model Pembelajaran
Terdapat beberapa model pembelajaran, namun secara umum model-model pembelajaran dapat dikelompokkan/diklasifikasikan menjadi 4 (empat) kelompok model, yaitu:
a. Kelompok Sosial (The social family)
1) Model investigasi kelompok
2) Model bermain peran
3) Model penilitian yurisprudensi

b. Kelompok Pengolahan Informasi (The Information Processing Family)
1) Model berpikir induktif
2) Model pencapai konsep
3) Model memorisasi
4) Model latihan inkuari
5) Model pengatur awal
6) Model pengembangan intelek
7) Model sinektik

c. Kelompok Personal (The Personal Family)
1) Model pembelajaran tanpa arahan.
2) Model latihan kesadaran.

d. Kelompok Sistem Tingkah Laku (The Behavioral Systems Family)
1) Model simulasi
2) Model kontrol diri

Pada setiap model pembelajaran perlu dikembangkan strategi, metode/ teknik, pendekatan pembelajaran yang sesuai, selanjutnya perlu dikembangkan pula perangkat pembelajaran yang mendukung pengembangan model pembelajaran tersebut. Perangkat pembelajaran yang dimaksud dapat berupa satuan pelajaran / rencana pelaksanaan pembelajaran, buku/lembar kegiatan guru, buku/lembar kegiatan siswa, lembar pengamatan, instrumen pengujian, dan perangkat pembelajaran lainnya.

a. Strategi Pembelajaran
Dalam konteks pendidikan, yang dimaksud strategi pembelajaran adalah pola umum perbuatan guru/siswa dalam peristiwa belajar mengajar. Pola umum perbuatan guru/siswa, menunjuk pada jenis/macam serta urutan perbuatan yang dilakukan guru/siswa pada suatu streategi tertentu, berbeda dengan strategi yang lain. Pemilihan strategi pembelajarn tertentu, berimplikasi pada pemilihan/penerapan metode, teknik, pendektan pembelajaran.
Strategi pembelajaran, dapat dibedakan ke dalam beberapa klasifikasi, sebagai berikut.
  1. Klasifikasi berdasarkan struktur peristiwa belajar. Berdasarkan klasifikasi ini, dikenal strategi pembelajaran yang bersifat tertutup, dan strategi yang bersifat terbuka.
  2. Klasifikasi berdasarkan peran guru/siswa dalam mengolah pesan pembelajaran. Berdasarkan klasifikasi ini, dikenal strategi yang bersifat ekspositorik, dan strategi yang bersifat heuristik. Pada strategi heuristik, dikenal sub strategi penemuan (discovery), dan sub strategi inkuari (inquiry).
  3. Klasifikasi berdasarkan cara pengolahan pesan pembelajaran. Berdasarkan klasifikasi ini, dikenal strategi pembelajaran yang bersifat induktif, dan strategi pembelajaran yang bersifat deduktif.
  4. Klasifikasi berdasarkan aspek pencapaian tujuan pembelajaran. Berdasarkan klasifikasi ini, dikenal strategi pembelajaran untuk pencapaian tujuan pembelajaran yang lebih menekankan pada aspek : 1) kognitif, 2) keterampilan, 3) nilai/sikap, 4) kemampuan berbahasa.
b. Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran adalah cara untuk menyajikan materi pembelajaran agar tujuan pembelajaran tercapai. Beberapa metode pembelajaran dapat dikemukakan sebagai berikut.
1) Ceramah
2) Tanya-jawab
3) Penemuan
4) Pemecahan masalah
5) Proyek
6) Eksperiman

c. Pendekatan Pembelajaran
Pendekatan pembelajaran adalah prosedur untuk membahas persoalan pembelajaran. Beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika, sebagai berikut.
1) Pendekatan induktif
2) Pendekatan deduktif
3) Pendekatan informal
4) Pendekatan formal
5) Pendekatan analitis
6) Pendekatan sintetis
7) Pendekatan realistik
8) Pendekatan open-ended
9) Pendekatan kontekstual

Beberapa Model Pembelajaran Matematika Yang Inovatif
Berikut ini akan dikemukakan model-model pembelajaran matematika yang berdasarkan pandangan konstruktivisme.

a. Model Pembelajaran Kontekstual
Model pembelajaran kontekstual adalah model pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning – CTL).
Contextual learning is a concept that helps teachers relate subject matter content to real world situations and motivates student to make connections between knowledge taught in school and its application to their lives as family members, citizens, and workers (Blanchard, 2001). Sedangkan Johnson (dalam Nurhadi, 2003) mengemukakan sebagai berikut “ the CTL system is an educational process that aims to help students see meaning in the academic material they are studying by connecting academic subjects with the context of their daily lives, that is, with the context of their personal, social, and cultural circumstances. To achieve this aim, the system encompasses the following eight components, making meaningfull connections, doing significant work, self regulated learning, collaborating, critical and creative thinking, nurturing the individual, reaching high standards, using authentic assessment”. Selanjutnya Johnson (dalam Nurhadi,2003) mengemukakan “ada tujuh atribut yang mencirikan koncep CTL, yaitu meaningfulness, application of knowledge, higher order thinking, standards based curricula, cultures focused, active engagement, and authentic assessment”.
Ada tujuh komponen yang mendasari pelaksanaan pembelajaran kontekstual, yakni konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment).

Gambaran sederhana tentang penerapan ketujuh komponen pembelajaran kontekstual, sebagai berikut.
  1. Kembangkan pemikiran bahwa siswa belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya,
  2. Laksanakan kegiatan inkuiri untuk mencapai kompetensi yang diinginkan,
  3. Bertanya sebagai alat belajar untuk mengembangkan sifat ingin tahu,
  4. Ciptakan belajar secara kelompok,
  5. Tunjukkan model sebagai contoh pembelajaran,
  6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan agar siswa merasa bahwa hari ini belajar sesuatu,
  7. Lakukan penilaian yang sebenarnya dari berbagi sumber dan berbagai cara.

Peran guru dalam pembelajaran kontekstual
  1. Mengkaji konsep dan kompetensi dasar yang akan dipelajari.
  2. Memahami latar belakang
  3. Mempelajari lingkungan sekolah dan
  4. Merancang pengajaran, Menyusun masalah kontekstual, Menyusun kegiatan yang bersesuaian dengan tujuh komponen pokok CTL
  5. Melaksanakan pembelajaran, Mendorong semangat belajar siswa untuk
  • mengaitkan materi yang dipelajari dengan pengetahuan/ pengalaman yang telah dimiliki,
  • membangun kesimpulan terhadap konsep/teori yang sedang dipelajari.
  • Melakukan refleksi dan penilaian sebenarnya.
Menurut Center of Occupational Research and Development (CDRD), ada 5 strategi bagi pendidik dalam penerapan pembelajaran kontekstual, yang disingkat REACT, yakni:
  1. Relating: belajar dikaitkan dengan konteks pengalaman kehidupan nyata
  2. Experience: belajar ditekankan kepada penggalian (eksplorasi), penemuan (discovery), dan penciptaan ( invention)
  3. Applying: belajar bilamana pengetahuan dipresentasikan di dalam konteks pemanfaatannya.
  4. Cooperating: belajar melalui konteks komunikasi interpersonal, pemakaian bersama
  5. Transferring: belajar melalui pemanfaatan pengetahuan di dalam situasi atau konteks baru.
b. Model Pembelajaran Berdasarkan/Berbasis Masalah.
1. Pengertian
Model pembelajaran berdasarkan masalah adalah model pembelajaran yang menekankan pada pendekatan pemecahan masalah authentik sehingga siswa dapat menyusun pengetahuan- nya sendiri, menumbuhkan serta mengembangkan keterampilan yang lebih tinggi dan inkuari, memandirikan siswa, dan meningkat- kan kepercayaan diri sendiri (Arends dalam Asikin, 2003 : 10)

2. Ciri-ciri model pembelajaran berdasarkan masalah.
  • Pengajuan masalah.
Masalah yang diajukan memenuhi kriteria sebagai berikut:
1) Authentik, 2) Jelas, 3) Mudah dipahami, 4) Relevan dengan tujuan pembelajaran,
dan 5) Bermanfaat/bermakna.
  • Pembelajaran berkaitan dengan disiplin ilmu lain (Sesuai dengan pandangan Kill Patrix, John Dewey)
  • Penyelidikan yang autentik.
  • Menghasilkan dan unjuk hasil karya.
  • Adanya kolaborasi
3. Langkah-langkah model pembelajaran berdasarkan masalah.
Lima langkah penerapan model pembelajaran berdasarkan masalah (Arends dalam Asikin, 2003 ; 12)
  • Orientasi siswa pada masalah
  • Mengorganisir siswa dalam belajar.
  • Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok.
  • Mengembangkan dan menyajikan hasil karya.
  • Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
Pelaksanaan model pembelajaran ini, meliputi tahap-tahap kegiatan sebagai berikut.
i. Pendahuluan.
Mempersiapkan kondisi fisik kelas, kondisi mental siswa.
Melakukan revisi, motivasi, apersepsi
ii. Kegiatan Inti
Melakukan fase-fase pembelajaran sebagai berikut.
Fase 1 - Mengorientasikan siswa pada masalah.
Fase 2 - Mengorganisir siswa untuk belajar.
Fase 3 - Membantu siswa memecahkan masalah
Fase 4 - Mengembangkan dan menyajikan hasil pemecahan masalah
Fase 5 - Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
iii. Penutup.
Membuat rangkuman/kesimpulan bersama siswa, dan memberikan tugas-tuga rumah

c. Model Pembelajaran Interaktif
Menurut Holmes (dalam Asikin, 2003 : 15), pelaksanaan pembelajaran interaktif, melalui lima tahap, yakni :
  1. Pengantar ( introduction),
  2. Memecahkan masalah (activity/problem solving),
  3. Saling membagi dan diskusi (sharing and discussing),
  4. Menyimpulkan (summanzing),
  5. Menilai belajar unit materi (assessment of learning of unit material).
Pemecahan masalah dalam pembelajaran interaktif dikembangkan melalui hal-hal berikut.
  • Pertanyaan open ended (pertanyaan terbuka) yang memberikan petunjuk untuk menguji dan menyusun kembali apa yang dikathui. Pertanyaan terbuka tidak berorientasi pada jawaban akhir, namun lebih menekankan pada cara bagaimana siswa samapi pada suatu jawaban.
  • Aktivitas yang dilakukan dalam proses pembelajarn interaktif meliputi interpretasi pemikiran dari berbagai kegiatan, termasuk menginvestigasi dan mengeksplorasi
  • Pertanyaan yang diberikan adalah pertanyaan yang memerlukan pertimbangan mendalam untuk dijawab.
Fase-fase kegiatan dalam model pembelajaran interaktif.
1. Fase pertama
Guru mengorganisasi siswa, secara individu maupun secara kelompok. Selanjutnya guru menyajikan masalah, tau memberikan tugas-tugas proyek. Siswa diminta mencatat hasil aktivitas yang mereka lakukan.
2. Fase kedua.
Guru memberikan bimbingan atau bantuan secara terbatas, tanpa memberikan jawaban masalah secara langsung kepada siswa.
3. Fase ketiga.
Fase ini merupakan fase interaksi kelas. Siswa melakukan presentasi hasil kerja baik berupa presentasi hasil kerja individu maupun hasil kerja kelompok. Tanggapan atau pertanyaan oleh siswa atau guru agar siswa lebih memahami topik yang sedang mereka pelajari.
4. Fase keempat.
Fase ini merupakan fase penarikan kesimpulan. Dari hasil kegiatan pada fase sebelumnya, siswa berdiskusi/berinteraksi, guru melakukan lacakan terhadap pemahaman siswa agar kesimpulan yang dibuat oleh siswa ( dengan bimbingan guru) menjadi cukup akurat.
5. Fase kelima
Fase menilai belajar unit. Penilaian yang dilakukan dalam model pembelajaran ini, dapat dilakukan pada awal pembelajaran ini, dapat dilakukan pada awal pembelajaran dengan pre-test, pada saat proses pembelajaran berlangsung melalui kegiatan wawancara, observasi, menilai pekerjaan siswa, sedangkan pada akhir pembelajaran dilakukan melalui post-test. Penilain dapat dilengkapi dengan portofolio dan jurnal.

Dalam pembelajaran interaktif, terdapat dua hal penting, yakni :
  1. Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dengan melakukan aktivitas yang dikondisikan oleh guru.
  2. Siswa mengkomunikasikan pemahamannya kepada siswa lain.

d. Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)
Penerapan pembelajaran kooperatif dalam pembelajarn di kelas didasarkan pada teori bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep sulit apabila mereka saling mendiskusikan dan sharing pengetahuan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai tiga tujuan pembelajaran yang penting, yaitu prestasi akademik, penerimaan akan penghargaan, dan pengembangan keterampilan sosial.

Melalui pembelajaran model ini, diharapkan dapat melatih siswa untuk mendengarkan pendapat orang lain dan merangkum pendapat atau temuan dalam bentuk tulisan. Tugas kelompok dapat memacu semangat belajar siswa untuk bekerja sama, saling membantu dalam mengintegrasikan pengetahuan-pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah dimilikinya.
Cooperative learning dalam pembelajaran matematika dapat membantu siswa meningkatkan sikap positif. Siswa belajar membangun kepercayaan diri terhadap kemampuannya untuk menyelesaikan masalah matematika. Terjadinya interaksi dalam kelompok, dapat melatih siswa menerima siswa lain yang berkemampuan dan berlatar belakang berbeda. Melalui model ini dapat meningkatkan berpikir kritis serta meningkatkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah. Penerapan pembelajaran kooperatif pada pembelajaran matematika di SMA 6 Semarang, dapat meningkatkan kemandirian berpikir siswa (Kumastuti, 2002).
Cooperative learning mencakup suatu kelompok kecil siswa yang bekerja sebagai tim untuk menyelesaikan masalah, menyelesaikan tugas, atau mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan bersama.

Beberapa tipe cooperative learning adalah STAD dan Jigsaw. STAD (Student Team Achievement Division) adalah tipe pembelajaran dengan ciri guru menyampaikan suatu materi, kemudian siswa bergabubg dalam kelompok yang terdiri dari 4 atau 5 siswa untuk menyelesaikan masalah yang diberikan guru. Setelah selesai, mereka menyerahkan pekerjaan secara tunggal untuk setiap kelompok kepada guru. Sedangkan pada model Jigsaw, setiap anggota kelompok diberi tugas mempelajari topik tertentu yang berbeda. Para siswa bertemu dengan anggota kelompok lain yang mempelajari topik yang sama untuk saling tukar pendapat dan informasi. Setelah itu mereka kembali ke kelompoknya semula untuk menyampaikan yang diperoleh kepada teman-teman di kelompoknya. Para siwa kemudian diberi tes/kuis secara individual oleh guru. Skor hasil kuis/tes, dapat digunakan untuk menentukan skor individu maupun skor kelompok.
Ada beberapa cara menggunakan ”cooperative learning” dalam pembelajaran matematika, yakni:
1) dengan memanfaatkan tugas rumah,
2) pembahasan materi baru.

Menurut Akbar Sutawijaya (2002 : 358), pembelajaran kooperatif adalah salah satu alternatif yang perlu digalakkan dalam konstruktivisme, karena pertimbangan sebagai berikut.
  1. Siswa yang sedang menyelesaikan masalah bersama-sama dengan teman sekelas, akan dapat menumbuhkan refleksi yang membutuhkan kesadaran tentang apa yang sedang dipikirkan dan dikerjakan.
  2. Menjelaskan kepada temannya biasanya mengarah ke pada suatu pemahaman yang lebih kuat dan sering menemukan ketidakkonsistenan pada pikirannya sendiri
  3. Ketika suatu kelompok kecil menerangkan solusinya ke seluruh kelas (tidak peduli apakah solusi itu cocok atau tidak), kelompok memperoleh kesempatan berharga untuk mempelajari hasil yang diperoleh.
  4. Mengetahui bahwa ada teman sekelompok elum bisa menjawab, akan meningkatkan gairah setiap anggota kelompok untuk mencoba menemukan jawabannya.
  5. Keberhasilan suatu kelompok menemukan suatu jawaban, akan menumbuhkan motivasi untk menghadapi masalah baru.

0 komentar:

Posting Komentar